PANGGONAN

Hubungan Industrial


Pengertian Hubungan Industrial

Hubungan industrial merupakan bidang yang berada di persimpangan. Selama lebih dari sepuluh tahun paradigma baru dalam hubungan industrial ini telah diterima dan menjadi perhatian (Godard & Delaney, 2000). Pekerjaan baru dan praktik manajemen sumber daya manusia telah menggantikan serikat pekerja dan kesepakatan bersama sebagai kekuatan inovatif kunci dalam hubungan industrial dan berdampak positif pada kinerja. Kinerja yang positif merupakan bagian dari penciptaan hubungan manajemen dan karyawan yang lebih kooperatif sehingga mendorong karyawan bekerja lebih keras dan saling berbagi dengan pengusaha.
Paradigma baru dalam hubungan industrial merupakan model manajemen baru yang berisi beberapa pekerjaan dan inovasi manajemen sumber daya manusia yang meliputi penugasan kerja fleksibel, cross training, team work, yang didukung oleh sistem kompensasi berbasis kinerja, partisipasi karyawan formal, dan program keselamatan kerja. Menurut studi hubungan antarkaryawan (human relations),  meskipun karyawan dan pengusaha berada dalam konflik namun konflik tersebut dapat dihilangkan jika manajer dapat mengadopsi kebijakan dan praktik yang tepat. Kebijakan yang tepat dapat menyelesaikan permasalahan pengaturan kerja yang sebagai pengganti kesepakatan kerja bersama. Penganut paham ini mengusulkan sistem komunikasi yang lebih baik, desain pekerjaan yang lebih humanistik, dan proses pengambilan keputusan yang lebih partisipatif.
Sementara itu  Kochan (2000) berpendapat bahwa sebenarnya paradigma baru dan paradigma lama tidak perlu diperdebatkan, namun lebih ditekankan pada praktik di tempat kerja dan pengaruhnya pada hasil. Dengan kata lain terjadi pergeseran ke arah keseragaman (unitary) atau ke arah perspektif manajemen sumber daya manusia dan pencapaian sasaran sebagai hasil.
Lebih jauh penelitian hubungan industrial harus menguji perubahan dinamis praktik perserikatan (union) dan non-perserikatan (non-union). Godard dan Delaney (2000) berpendapat bahwa studi perubahan kontemporer di tempat kerja kembali pada model hubungan antar orang atau karyawan dan hubungan antar karyawan dari Taylor. Taylor mengenalkan prinsip desain divisi tenaga kerja melalui prinsip desain hubungan industrial dan pengupahan untuk mengoptimalkan efisiensi dan kepuasan kerja karyawan. Sedangkan teori hubungan antarkaryawan (human relations theory) menjelaskan bahwa pengorganisasian pekerja bertujuan untuk memuaskan karyawan dan memenuhi kebutuhan sosial yang selanjutnya akan mendorong efisiensi.
Menurut Lansbury (2009) topik yang dibahas dalam hubungan industrial di masa lalu adalah posisi tawar-menawar kolektif (collective bargaining), serikat pekerja, dan pemogokan, namun menurun tingkat kepentingannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Isu tentang pengaturan pekerjaan, penentuan upah, perwakilan dan serikat pekerja, penyelesaian perselisihan serta  organisasi pengusaha dan pemerintah merupakan bidang yang banyak diteliti dan dijadikan kajian.
Definisi hubungan industrial dalam teori dan praktik juga merupakan subyek untuk perubahan. Terjadi perdebatan apakah bidang hubungan industrial perlu bergeser dari perhatian pada kehidupan setiap hari di tempat kerja menjadi bidang yang lebih relevan bagi praktisi dan pembuat kebijakan, apakah terlalu banyak partisipan dalam hubungan dengan serikat pekerja dan pengusaha dapat saling melengkapi. Jika bidang manajemen sumber daya manusia cenderung menerima pandangan yang sama dalam hubungan antarkaryawan dan tidak mengeksplorasi lingkungan sosial tempat organisasi beroperasi, maka hubungan industrial dengan pendekatan pluralis berkaitan dengan konflik dan penyelesaian sebagai konsekuensi alamiah lingkungan dimana terdapat banyak kepentingan di dalamnya.
Berdasarkan perumusan tentang hubungan industrial, terdapat tiga pelaku, yaitu pemerintah dan badan pemerintah, manajemen atau pengusaha, dan karyawan atau pekerja. Dari interaksi yang terjadi diantara para pelaku tersebut menimbulkan aspirasi dari para pihak dan melahirkan aturan di tempat kerja yang luas cakupannya seperti peraturan perusahan dalam bentuk kesepakatan kerja bersama (collective agreement). Selain itu, ada juga bentuk aturan di tempat kerja sebagai suatu kebiasaan atau tradisi yang mengikat antara pihak pengusaha dan pekerja. Dalam proses interaksi biasanya terdapat kegiatan pemasaran tenaga kerja.
Pemasaran tenaga kerja dimaksud untuk membahas persyaratan kerja yang akan diberlakukan setelah karyawan dinyatakan diterima bekerja. Penentuan syarat-syarat kerja ini dapat melibatkan karyawan secara individual maupun wakil-wakil karyawan yang tergabung dalam organisasi pekerja.  Penentuan syarat-syarat kerja secara individu hanya melibatkan individu  yang terikat dengan ketentuan syarat-syarat kerja. Karenanya ketentuan kerjanya  hanya menyangkut karyawan perseorangan sehingga penetapannya juga hanya melibatkan karyawan yang bersangkutan dengan pihak organisasi  atau pengusaha, yang selanjutnya disebut kesepakatan individual (individual bargaining). Sedangkan syarat-syarat kerja yang ditentukan oleh sekelompok karyawan dan menyangkut sekelompok karyawan disebut kesepakatan bersama (collective bargaining).  Sebagai konsekuensinya, para karyawan tersebut harus menerima syarat-syarat kerja yang telah disepakati oleh pihak organisasi atau pengusaha dengan wakil karyawan. Syarat-syarat kerja yang akan ditentukan dalam proses tersebut  biasanya meliputi jam kerja, hari kerja, tempat kerja, upah, dan jaminan sosial.
Deery et al. (1998) membagi tiga pendekatan dalam studi hubungan industrial, yaitu unitary, pluralist, dan radical.
1. Pendekatan Keseragaman atau Kesatuan (Unitary Approach)
            Pendekatan keseragaman mengasumsikan bahwa setiap organisasi merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dengan sasaran atau tujuan yang sama. Hubungan kerja didasarkan pada kerjasama (mutual co-operation) dan terdapat keserasian dalam keinginan antara pengusaha dan karyawan. Dalam pendekatan keseragaman ini tidak ada konflik mendasar antara pemilik modal dan pemasok tenaga kerja. Konflik industrial yang terjadi bersifat temporer biasanya disebabkan oleh masalah komunikasi dan manajemen yang buruk atau adanya perilaku menyimpang. Serikat pekerja dianggap sebagai pihak pengacau yang mempunyai struktur seragam dan kerjasama dalam organisasi yang dipertimbangkan sebagai pesaing oleh manajemen dalam mengelola karyawan.
            Pandangan keseragaman ini berorientasi pada manajerial dengan adanya kewenangan tunggal dan berfokus pada loyalitas. Dalam strategi manajerial pandangan keseragaman menekankan pada keinginannya membangun komitmen, memperbaiki komunikasi, dan dalam beberapa kasus menggunakan gaya kepemimpinan demokratik dan sistem partisipasi karyawan di tempat kerja. Pandangan keseragaman mendorong timbulnya tiga aliran dalam manajemen, yaitu manajemen ilmiah (scientific management), hubungan antar karyawan (human relations) dan pandangan baru dalam hubungan antar karyawan (neo-human relations).
a. Manajemen Ilmiah (Scientific Management)
            Frederick W. Taylor adalah tokoh dalam manajemen ilmiah yang merumuskan teori perilaku industrial. Prinsip yang dikembangkannya adalah menciptakan iklim industrial melalui hubungan kemitraan (partnership) antara modal dan karyawan sehingga tercapai peningkatan efisiensi organisasi. Taylor menyatakan bahwa manajemen harus mempelajari pekerjaan yang harus dilakukan agar didapatkan satu cara terbaik dalam mengerjakan tugas. Taylor juga menyatakan bahwa dengan mengoptimalkan efisiensi produk setiap karyawan, penghasilan maksimum karyawan dan pengusaha akan tercapai. Menurut Taylor, dengan desain pekerjaan dan kompensasi yang tepat, dapat mengurangi sumber konflik.
b. Hubungan Antarkaryawan (Human Relations)
Aliran ini merupakan isu awal dalam psikologi industri yang berfokus pada individu. Para ahli teori hubungan antarkaryawan kurang tertarik dengan struktur insentif ekonomi, namun lebih tertarik pada penciptaan kepuasan dalam hubungan sosial dalam kelompok kerja. Karyawan yang puas akan memiliki kinerja yang tinggi dan mau bekerjasama. Karyawan memang harus diperlakukan sebagai manusia, sedangkan manajer harus menyadari keinginan karyawan untuk dipahami perasaan dan emosinya dan berusaha menciptakan rasa memiliki dan identifikasi personal dalam organisasi.
            Selanjutnya, supervisi yang baik dan keterbukaan dalam komunikasi akan menginspirasi rasa percaya diri dan meningkatkan komitmen terhadap pencapaian sasaran organisasi. Manajer harus menyediakan lingkungan kerja yang mampu menanggapi kebutuhan emosional dan personal individu dalam kelompok kerja. Penelitian mengenai hubungan antarkaryawan telah dilakukan oleh Elton Mayo dengan Studi Howthorne (Howthorne Studies). Tujuan studi tersebut adalah mengobservasi pengaruh produktivitas karyawan yang diukur dalam lingkungan kerja yang berubah.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas bukan dipengaruhi oleh faktor logis seperti pencahayaan atau jam kerja yang singkat, melainkan oleh perasaan menyenangkan dan mempunyai keinginan kuat dalam mencapai keinginannya. Howthorne Studies menunjukkan bahwa motivasi seseorang dapat dipengaruhi oleh hubungan antarkaryawan atau yang disebut dengan faktor sosial (Locke, 1982). Locke menyatakan bahwa ada empat cara atau teknik praktis dalam memotivasi karyawan, yaitu uang, penyusunan tujuan/ sasaran, partisipasi dalam pembuatan keputusan, dan pengayaan pekerjaan (job enrichment).
            Satu kritik terhadap pendapat Taylor adalah menolak serikat pekerja (anti union) dengan menggunakan berbagai teknik, yaitu:
  1. Studi waktu dan gerak (time and motion study)
  2. Peralatan dan prosedur standar
  3. Modifikasi perilaku organisasional
  4. Pemberian bonus berupa uang
  5. Pekerjaan individual, yang ditunjukkan dengan adanya fenomena social loafing (yaitu fenomena penurunan produktivitas bila anggota kelompok ditambah)
  6. Tanggungjawab manajemen untuk mengadakan pelatihan
  7. Penggunaan jam kerja yang lebih pendek 

c.    Pandangan Baru dalam Hubungan Antarkaryawan (Neo-human
       relations)

            Tokoh dalam pandangan baru antara lain McGregor, Likert, dan Herzberg yang memandang bahwa cara untuk memahami perilaku di tempat kerja adalah menemukan kebutuhan individu (atau egoistik) karyawan, bukan kebutuhan sosial. Oleh karena itu, pandangan ini menekankan terciptanya kepuasan karyawan. Karakteristik pekerjaan seperti menarik, menantang, dan kesempatan memiliki tanggungjawab dan arahan diri (self-direction) merupakan motivator yang sesungguhnya. Program seperti perluasan pekerjaan (job enlargement) dan pengayaan pekerjaan telah menggantikan kebutuhan sosial.
McGregor menyatakan bahwa bila organisasi akan meningkatkan kebutuhan karyawan melalui perubahan dalam struktur pengambilan keputusan organisasional, maka langkah yang tepat untuk dilakukan adalah mencapai kesamaan sasaran individu dengan sasaran organisasi. Sedangkan Frederich Herzberg berpendapat bahwa karyawan dapat dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor ekstrinsik atau faktor yang tidak memuaskan (hygiene factors) dan faktor intrinsik atau faktor yang dapat memuaskan (motivator factors). Pemberian upah, kondisi kerja yang menyenangkan, peraturan perusahaan antara lain merupakan faktor ekstrinsik yang apabila tidak dipenuhi dapat menyebabkan ketidakpuasan. Sedangkan penghargaan, prestasi, tanggung jawab, pengembangan merupakan faktor intrinsik yang apabila terpenuhi dapat memuaskan karyawan.
Pendekatan dalam pandangan baru ini lebih baik daripada pendekatan sebelumnya dalam analisis keperilakuan. Hal terpenting dalam analisis keperilakuan ini adalah memperbaiki hubungan antarkaryawan di tempat kerja. Sumber konflik ditemukan dalam organisasi dan menemukan perubahan dengan menerapkan teknik manajerial yang tepat. Konflik dapat dihindari dengan menciptakan sistem komunikasi yang efektif, kepemimpinan yang mendukung, dan hubungan informal yang baik, sehingga pekerjaan memuaskan dan mendapatkan hasil. Lingkungan kerja yang menyenangkan dan tingkat upah yang tinggi merupakan faktor ekstrinsik yang dapat menghindari ketidakpuasan. Sementara itu, pengayaan pekerjaan (job enrichment), pembesaran pekerjaan (job enlargement), dan rotasi pekerjaan (job rotation) merupakan metode yang penting dalam mengurangi kebosanan dan pengulangan dalam proses produksi.
2. Pendekatan Keragaman (Pluralist Approach)
            Berbeda dengan pendekatan keseragaman yang memiliki satu sumber kekuasaan yang memiliki legitimasi (legitimate power), pendekatan keragaman memungkinkan terjadinya perbedaan kelompok peminatan dan berbagai bentuk loyalitas. Kerangka kerja keragaman menyatakan bahwa karyawan dalam organisasi yang berbeda dapat memiliki minat yang sama. Dengan menciptakan hubungan horizontal dengan kelompok di luar organisasi dapat mengembangkan loyalitas dan komitmen terhadap pemimpin daripada pengelolaan organisasinya.
            Pendekatan keragaman memusatkan perhatian pada peraturan, regulasi, dan proses yang dapat memberikan kontribusi pada kepentingan organisasi dan menjamin bahwa perbedaan kepentingan secara efektif akan mempertahankan keseimbangan sistem. Pendekatan ini menekankan pada stabilitas sosial, sehingga hubungan industrial dipandang sebagai satu set aturan yang menekankan pada aspek hubungan antara pengusaha dengan karyawan dan hubungan antara manajemen dan serikat pekerja, sehingga konflik dalam mengendalikan pasar tenaga kerja dan proses yang terjadi merupakan manifestasi kepentingan sang bersifat terus-menerus.

3. Pandangan Radikal (Radical Approach)
Pandangan ini mengenal konflik fundamental dan melekat pada konflik kepentingan antara karyawan dan pengusaha di tempat kerja. Tempat kerja merupakan suatu tempat terjadinya konflik dengan adanya konflik kepentingan yang radikal yang mendasari adanya hubungan industrial. Tidak seperti dalam pendekatan keragaman, pendekatan radikal memandang hubungan industrial sebagai totalitas hubungan sosial dalam produksi. Pendekatan radikal memandang ketidakseimbangan kekuasaan dalam masyarakat dan di tempat kerja sebagai inti hubungan industrial   
Konsep kerangka kerja hubungan industrial mendorong pengembangan tipologi dengan tiga level kegiatan hubungan industrial, yaitu level strategi, kebijakan, dan tempat kerja sebagaimana yang dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1
Tiga Level Kegiatan Hubungan Industrial
Level
Pengusaha
Serikat Pekerja
Pemerintah
Strategi jangka panjang dan penyusunan kebijakan
Strategi Bisnis
Strategi Ionvestasi
Strategi Sumber Daya Manusia
Striategi Politik
Strategi Representasi
Strategi Organisasi
Kebijakan Makroekonomi dan sosial
Kesepakatan bersama dan kebijakan personal
Kebijakan Personalia
Strategi Negsiasi
Strategi Kesepakatan Bersama
Hukum dan Adminatrasi  Tenaga Kerja
Hubungan tempat kerja dan individu/ organisasi
Gaya Supervisi
Partisipasi lkaryawan
Desain Pekerjaan dan Organisasi Kerja
Adminstrasi Kontrak
Partisipasi Karyawan
Desain Pekerjaan dan Organisasi Kerja
Standar Karyawan
Partisipasi Karyawan
Hak Individual
            Sumber: Deery et al., 1998

            Tabel 1 menunjukkan pembagian kerangka kerja yang membagi kegiatan manajemen, karyawan, dan pemerintah menjadi tiga tingkatan. Setiap tingkatan diperdalam dengan tiga aktor utama lain dalam sistem hubungan industrial. Ketiga tingkat menunjukkan perbedaan dalam keunggulan analisis. Kerangka kerja mengenal hubungan antarkegiatan pada berbagai tingkatan sistem yang berbeda. Kerangka kerja menunjukkan pengaruh berbagai keputusan strategik dengan berbagai aktor. Sedangkan fokus analisisnya adalah pada hubungan formal dan informal di tempat kerja.

Berbagai Disiplin Ilmu yang Berpengaruh Pada Konsep Hubungan Industrial

Hubungan industrial dijelaskan sebagai studi perilaku dan interaksi antarindividu di tempat kerja. Prinsip ini berkaitan dengan karyawan yang diberi penghargaan, dimotivasi, dilatih, dan diatur secara bersama-sama dengan proses yang digunakan oleh institusi yaitu manajemen serikat pekerja dengan membuat keputusan yang menunjukkan hubungan antara karyawan dan pengusaha. Hubungan industrial merupakan hubungan kerja yang diasumsikan konfliktual atau banyak menimbulkan konflik. Kepentingan pengusaha dan kepentingan karyawan merupakan dua hal yang bertentangan.
            Sementara itu, manajemen sumber daya manusia menggunakan perspektif yang kurang pluralis, dengan kata lain pengusaha dan karyawan memiliki minat dan tujuan yang serupa. Dalam mengelola sumber daya manusia, manajer menekankan sasaran dari komitmen  organisasional, dan integrasi kebijakan dengan kebutuhan bisnis. Dapat dikatakan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan penjelmaan kerangka keseragaman atau kesatuan (unitary) baik dalam perasaan legitimasi otoritas manajerial dan dalam penggambaran perusahaan sebagai tim dengan karyawan yang memiliki komitmen untuk bekerja dengan manajer untuk mendapatkan keuntungan.
            Dalam hubungan industrial, organisasi dikonseptualisasikan agak berbeda. Organisasi nampak memiliki berbagai macam kelompok dengan minat, sasaran, dan aspirasi yang berbeda. Kekuasaan dan otoritas manajerial dipertentangkan. Dalam manajemen sumber daya manusia, hubungan antarkaryawan dipandang saling tarik-menarik, dan organisasi merupakan refleksi yang teritegrasi dengan keselarasan tujuan secara mendasar.
Manajemen sumber daya manusia memiliki empat elemen kunci. Pertama, terdapat keyakinan (beliefs) dan asumsi (assumptions) yang mendasari. Hal ini berhubungan dengan pandangan pentingnya orang sebagai sumber daya strategik dan kompetitif, pandangan dalam pencapaian sasaran komitmen karyawan, dan penentuan untuk memilih dan mengembangkan karyawan secara seksama. Kedua, adanya elemen utama yang berkaitan dengan strategi (strategy). Manajemen sumber daya manusia dipandang sebagai masalah penting yang terkait dengan strategi dan harus secara konsekuen diintegrasikan ke dalam strategi bisnis. Elemen ketiga adalah tanggung jawab manajerial dalam manajemen sumber daya manusia, yang meliputi semua kegiatan untuk mengatur tim, menangani penilaian kinerja, penentuan target, mendorong gugus kendali mutu, pengupahan, dan masih banyak lagi. Elemen keempat adalah perhatian pada tuas organisasional (organisational levers) yang digunakan dalam implementasi kebijakan. Oleh karena itu, diperlukan penekanan dari peraturan dan prosedur personal sebagai dasar praktik yang baik, dan penekanan pada manajemen budaya. Penciptaan jenis budaya korporasi yang baik merupakan kunci dalam mencapai konsensus organisasional, yaitu adanya seperangkat nilai dan keyakinan, keinginan untuk bekerja secara fleksibel, dan komitmen karyawan.
Manajemen sumber daya manusia mempunyai empat sasaran yang berbeda, yaitu komitmen, fleksibilitas, kualitas, dan strategi terintegrasi. Sasaran pertama adalah menciptakan kekuatan kerja yang mempunyai komitmen untuk menurunkan absen dan perputaran kerja dan meningkatkan kinerja. Sasaran kedua, manajemen sumber daya manusia selalu berusaha membuat organisasi lebih dapat beradaptasi dengan perubahan ekonomi dan teknologi dengan mendorong praktik kerja fleksibel dan strategi penggunaan sumber daya manusia. Sasaran ketiga adalah meningkatkan kualitas produk dan jasa atau pelayanan, serta kualitas kehidupan kerja karyawan. Hal ini dapat dicapai dengan mengadakan pelatihan dan pengembangan karyawan. Sasaran keempat berhubungan dengan integrasi manajemen sumber daya manusia dengan strategi bisnis organisasi.
Kebijakan manajemen sumber daya manusia diharapkan sesuai dengan strategi bisnis tersebut, sehingga organisasi mampu mencapai keunggulan bersaing menggunakan sumber daya manusia yang ada. Manajemen sumber daya manusia dikarakteristikkan secara individualistik (individualistic), bukan menggunakan pendekatan perserikatan (non-union approach), dan pengaturan kerja (work arrangement).
Selain empat sasaran yang dimiliki, manajemen sumber daya manusia menggunakan dua penekanan, yaitu model keras (hard model) dan model lunak (soft model).  Model keras atau yang berfokus pada organisasi (organization focused) dan model lunak atau yang berfokus pada karyawan (employee focused) merupakan pendekatan praktik manajemen sumber daya manusia (Edgar, 2003). Model keras menekankan pada pengintegrasian kebijakan sumber daya manusia dengan strategi bisnis untuk mencapai sasarannya dalam organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia merupakan faktor produksi yang mampu menyusun kesehatan organisasi. Selain itu, model keras yang lebih menekankan pada kinerja keuangan yang menyatakan bahwa praktik manajemen sumber daya manusia berhubungan dengan strategi bisnis dan menekankan pada pemenuhan kepentingan pemegang saham (shareholder).  Karyawan merupakan sumber daya kunci yang dieksploitasi untuk mencapai keunggulan bersaing.
Model lunak merefleksikan bentuk pengembangan humanisme. Kebijakan sumber daya manusia digunakan untuk memperlakukan karyawan sebagai aset yang bernilai dan sebagai sumber keunggulan bersaing melalui komitmen, adaptabilitas, kualitas atau keahlian, dan kinerja. Dalam model lunak, karyawan memiliki hak untuk diperlakukan sebagai manusia di tempat kerja. Model ini menggunakan kebutuhan personil terkait dengan pekerjaan (job-related personal needs). Model ini juga memandang manusia bukan sebagai obyek dan menggunakan manajemen sumber daya manusia untuk meningkatkan motivasi karyawan, komitmen dan pengembangan, sasaran organisasional dapat tercapai, dan yang terpenting, karyawan diberdayakan. Model yang berpusat pada karyawan sama dengan praktik terbaik manajemen sumber daya manusia yang merupakan sistem dan metode sumber daya manusia yang universal, additive, dan berdampak positif pada kinerja organisasional. Kedua penekanan ini, baik model keras maupun model lunak harus dipraktikkan secara simultan.
Bagaimana hubungan antara serikat pekerja dan manajemen sumber daya manusia? Tujuan utama manajemen sumber daya manusia adalah menciptakan organisasi yang lebih produktif, efisien, dan kompetitif. Fokus utamanya yaitu bagaimana membangun kompetensi karyawan dan komitmennya terhadap perusahaan, dan dalam mengidentifikasi cara yang paling efektif dalam menggunakan sumber daya yang ada untuk mendapatkan keuntungan organisasional. Hubungan industrial membangun seputar serikat pekerja dan formalisasi prosedur kesepakatan bersama dan peraturan bersama. Bila pencapaian komitmen organisasional merupakan sasaran manajemen sumber daya manusia, maka serikat pekerja dan kesepakatan bilateral dari peran hubungan antarkaryawan bukan merupakan parameter kebijakan manajemen sumber daya manusia.
Manajemen sumber daya manusia dipandang sebagai tantangan terhadap keberadaan dan operasi serikat pekerja dalam beberapa hal. Pertama, kebijakan yang dirancang untuk memperkuat identifikasi individu dan keterlibatan dalam organisasi dapat menghasilkan pengurangan dalam komitmen terhadap perserikatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan dengan kepuasan kerja tinggi akan bersedia berkomunikasi dengan orang lain dan mau berpartisipasi, sehingga komitmen organisasionalnya tinggi. Di sisi lain, individu yang melakukan tugas rutin dan monoton akan menolak kesempatan promosi, sehingga komitmen organisasionalnya menurun. Hal ini menyebabkan karyawan akan bekerjasama dalam perserikatan. Keberadaan perserikatan tersebut akan menyebabkan keselarasan menurun (disharmony), kepercayaan menurun (distrust), dan ketidakpuasan (dissatisfaction) karyawan terhadap pengaturan hubungan kerja karyawan.
Kedua, perserikatan biasanya akan menentang kebijakan dan praktik manajemen sumber daya manusia. Beberapa ahli menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan bagian dari strategi yang dirancang untuk memperlemah pengaruh perserikatan. Manajemen sumber daya manusia digunakan untuk memperlemah serikat pekerja dengan memperluas kolaborasi antara manajer dan karyawan yang tidak dimediasi oleh perserikatan. Serikat pekerja juga membatasi kebebasan manajemen untuk mengenalkan praktik individualistik dan pengaturan hubungan kerja. Perserikatan tersebut membatasi sistem penilaian kinerja paryawan berdasarkan prestasi individu. Perserikatan menolak pemberian penghargaan individu dan mendukung pemberian penghargaan kelompok.
Namun demikian, beberapa orang ahli menyatakan bahwa keberadaan serikat pekerja akan penting dalam menjamin keberhasilan kebijakan manajemen sumber daya manusia. Hal ini ditunjukkan dengan program inovatif di tempat kerja seperti sistem kerja tim, keterlibatan karyawan, dan pengaturan penghargaan akan lebih berhasil diterapkan dalam lingkungan perserikatan. Hal ini disebabkan adanya dua penemuan. Pertama, serikat pekerja memiliki keamanan kerja yang lebih formal dan menjamin hak individu, serta lebih mendorong individu menyampaikan pendapat dan mendapatkan informasi secara terbuka tanpa ada rasa takut. Kedua, serikat pekerja menyediakan mekanisme tempat karyawan dapat menggunakan hak suaranya dalam mendesain dan menerapkan program. Hal ini mendukung peningkatan kualitas kehidupan kerja karyawan dan produktivitasnya.
Selanjutnya, ada tiga pendekatan berbeda yang dilakukan perserikatan dalam manajemen sumber daya manusia. Pertama, tanggapan pendamaian (conciliatory) dan konsesi atau kelonggaran (concessionary); kedua, pendekatan prosedural yang menekankan pada perluasan peran kesepakatan bersama; dan ketiga, tanggapan tempat kerja yang dilokalisasi secara aktif. Pendekatan pendamaian dan kelonggaran mungkin muncul ketika perserikatan berkonfrontasi dengan iklim ekonomi dan politik. Tanggapan serikat pekerja lainnya didasarkan pada perluasan lingkup dari kesepakatan bersama ke dalam berbagai bidang, seperti pelatihan, pengembangan keahlian, dan pengembangan karir. Kesepakatan tersebut juga meliputi kualitas produk dan pelayanan, produktivitas, dan persaingan biaya dalam proses pengaturan bersama. Tanggapan ketiga terhadap praktik manajemen sumber daya merupakan bentuk dari inisiatif yang independen dan otonom.   
Manajemen sumber daya manusia berisi sejumlah elemen atau dimensi penting, yaitu pendekatan strategik dalam pengelolaan orang dan pengintegrasian kebijakan sumber daya manusia dengan strategi bisnis secara keseluruhan. Fokus utamanya yakni pada pencapaian komitmen organisasional dan seperangkat nilai, dan adanya pergeseran dari hubungan manajemen dengan serikat pekerja  ke arah hubungan manajemen dengan karyawan.

B. Hubungan Industrial dan Strategi Organisasi

Peran manajemen adalah mengkombinasikan, mengalokasikan, dan menggunakan sumber daya produktif dengan berbagai cara yang dapat membantu organisasi mencapai tujuan. Dari berbagai sumber daya yang dimiliki organisasi, pengelolaan sumber daya manusia merupakan kegiatan pengelolaan yang paling sulit dilakukan. Peran manajer dalam hal ini adalah merealisasikan penggunaan secara optimal kekuasaan karyawan dan mentransformasikan semua potensi karyawan ke dalam kegiatan produktif secara nyata. Peran manajemen adalah menyusun struktur pengendalian atau metode kesepakatan yang mendatangkan kerjasama dalam pencapaian tujuan.
Fungsi manajemen dalam hubungan industrial yang penting adalah mencapai tingkat usaha kerja fisik dan mental karyawan. Manajemen harus menjamin bahwa karyawan secara nyata melakukan pekerjaan yang harus mereka lakukan untuk mencapai standar yang ditentukan. Untuk itulah manajemen berusaha mengurangi ketidaktepatan hubungan pertukarannya dengan karyawan dengan meminimalkan otonomi karyawan. Dengan supervisi yang ketat dan pembagian kerja yang sempit manajemen dapat mencapai sasaran dan mampu mengendalikan pekerjaan yang dikerjakan.
Ada dua strategi yang menurut Friedman dapat digunakan untuk mengendalikan kinerja karyawan. Strategi pertama adalah pengendalian langsung (direct control) yang dilakukan dengan supervisi ketat dan meminimalkan penyimpangan industrial. Strategi kedua adalah otonomi tanggungjawab (responsible autonomy) yaitu memanfaatkan kemampuan beradaptasi karyawan dengan memberikan peluang dan mendorong mereka beradaptasi terhadap situasi yang berubah. Penggunaan sistem pengendalian langsung tergantung pada pengetahuan tentang proses transformasi (dari input hingga menjadi output) secara lengkap yang dimiliki manajer dan kemampuan menyusun standar kinerja dan mengukur output karyawan.  Namun demikian, yang lebih penting adalah mengendalikan perilaku karyawan.
Selanjutnya, terdapat hubungan antara strategi organisasi, struktur organisasi, dan lingkungan manajemen sumber daya manusia. Struktur organisasi tertentu biasanya sesuai dengan strategi tertentu. Strategi diferensiasi produk misalnya, tidak sesuai bila menggunakan struktur mekanistik birokratis dengan peran dan prosedur formal. Diferensiasi tersebut menuntut adanya inovasi dan kreativitas yang lebih tepat menggunakan struktur yang bersifat fleksibel yang memungkinkan terjadinya kolaborasi dan penyimpangan dari prosedur yang ada. Selain itu, struktur yang fleksibel memungkinkan kekuasaan terdesentralisasi dan kewenangan berdasar keahlian. Sementara itu, strategi biaya rendah lebih tepat menggunakan struktur birokratis yang menekankan pengendalian ketat, prosedur yang terstandardisasi, tugas rutin, dan metode yang ditentukan oleh peran dan hirarki.

Semuga ini Bermanfaaat ,,,,,,,,,.