PANGGONAN

MENOLAK PERUBAHAN


Menghadapi situasi yang dinamis dan kompetitif yang selalu diwarnai oleh perubahan, perubahan menjadi ‘menu wajib’ di setiap organisasi. Konsekuensinya perubahan harus dilakukan secara konstan. Kadang-kadang peristiwa perubahan demikian menggemparkan akibat terjadinya sebuah situasi dan kondisi yang  dipicu oleh faktor eksternal, tapi dapat pula berlangsung secara incremental didorong inisiatif oleh kalangan internal.

 Dalam organisasi-organisasi yang bersifat change-adept, anggota-anggotanya hanya merespon kepada para pelanggan dan dilanjutkan dengan  mengerjakan peluang yang tersedia . Mereka tidak perlu mengubah asumsi-asumsi mereka tentang bagaimana organisasi beroperasi, tetapi mereka belajar dan beradaptasi secara terus-menerus, menyebarkan pengetahuan, serta berbagi gagasan-gagasan. Dengan menjadikan perubahan sebagai cara hidup, anggota organisasi merasa perubahan merupakan tugas yang memang dibebankan kepada mereka.

 Menurut Rosabeth Moss Kanter, organisasi-organisasi yang bersifat change-adept memiliki tiga ciri, yaitu imajinasi untuk berinovasi, profesionalisme untuk melaksanakan setiap aktivitas, serta keterbukaan untuk berkolaborasi. Masing-masing karakteristik menuntut peran tertentu bagi pemimpinnya.

 Sebagai upaya mendorong inovasi, pemimpin yang efektif akan membantu membangun konsep baru, gagasan, model, dan aplikasi teknologi yang membedakan suatu organisasi dengan yang lainnya.

 Fasilitasi profesionalisme dilakukan pemimpin perubahan dengan menyediakan sarana bagi peningkatan kompetensi pribadi dan organisasi., yang didukung oleh pelatihan dan pengembangan SDM, melaksanakan aktivitas secra prima, dan memberikan nilai tambah kepada pelanggan yang selalu menuntut yang lebih baik dari yang mereka terima sebelumnya.

 Dalam mewujudkan keterbukaan untuk berkolaborasi, para pemimpin menjalin hubungan dengan para mitranya untuk memperluas jangkauan organisasi, meningkatkan penawarannya, dan meningkatkan kemampuan  praktis organisasi.

 Aset-aset yang bersifat intangible yang berupa konsep, kompetensi, dan koneksi, terbentuk secara alami dalam organisasi yang sukses. Aset-aset ini merefleksikan kebiasaan-kebiasaan bukan hanya program yang terencana, keahlian-keahlian individu, perilaku, dan hubungan. Jika  ini berakar secara  mendalam dalam sebuah organisasi, perubahan akan berlangsung secara sangat alami, sehingga resistensi yang dialami biasanya rendah. Tapi bila intangible assets ini kurang dimiliki oleh suatu organisasi, para pemimpinnya cenderung bereaksi secara defensif dan tidak efektif. Perubahan yang disertai dengan krisis biasanya dilihat sebagai ancaman, bukan sebuah peluang. Konsekuensinya perubahan itu bukannya membuat organisasi menjadi lebih baik, tetapi sebaliknya menjadikan nasib organisasi tersebut menjadi tidak menentu.

 Menguasai perubahan secara mendalam mengharuskan organisasi untuk lebih dari sekedar beradaptasi dengan perubahan yang sedang berlangsung. Tapi perubahan itu harus dilakukan secara cepat, tangkas, intuitif dan inovatif. Memperkuat hubungan dengan pelanggan dalam situasi pasar yang tidak menentu dapat membantu organisasi untuk menghindari apa yang disebut cataclysmic change, perubahan yang mengakibatkan hilangnya pekerjaan dan guncangnya anggota organisasi. Pemimpin yang efektif harus memahami kembali peran mereka.

 Pada umumnya, terdapat tiga isu yang dikaitkan dengan perubahan seperti diungkapkan Oliver Recklies, yaitu kecemasan (anxiety), kekuasaan (power), dan pengendalian (control). Pemimpin pada masa transisi harus memahami tantangan ini dan bagaimana menanganinya.

 Reaksi yang muncul terhadap perubahan adalah kecemasan. Minimnya informasi menjadikan munculnya prasangka dan orang cenderung berfikir tentang skenario terburuk. Kondisi ini dapat menimbulkan tekanan, yang dapat menimbulkan persepsi yang salah terhadap perubahan yang sedang dilaksanakan. Pemimpin pada masa transisi harus menghadapi masalah ini dan menemukan cara untuk memotivasi anak buahnya, yang dapat dilakukan melalui serangkaian tindakan. Pertama, merancang event untuk change awareness yang membantu anggota memahami mengapa organisasi perlu mengadakan perubahan. Kedua membangun partisipasi dalam perubahan. Ketiga,  berilah penghargaan terhadap anggota yang bersikap dan berperilaku seperti yang diharapkan. Keempat, sediakan waktu dan kesempatan untuk ’melepaskan diri’ dari  situasi sekarang.

 Sementara dari sisi kekuasaan, perubahan yang signifikan selalu menghasilkan gangguan dinamika politik organisasi seiring dengan berubahnya distribusi kekuasaan. Gangguan ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan status formal dan hubungan kekuasaan dalam organisasi. Dapat pula mengguncang hubungan politik informal  yang terbangun diantara individu dan kelompok. Pemimpin pada masa transisi harus mengelola dinamika politik sebelum dan selama masa transisi untuk membangun dan mempertahankan dukungan agar perubahan terlaksana,
 Masalah ketiga adalah pengendalian. Masa transisi adalah masa yang penuh dengan ketidakpastian antara status masa lalu dengan masa depan. Dalam masa ini organisasi lama dibongkar, sedangkan organisasi baru belum sepenuhnya beroperasi. Pemimpin dalam masa transisi harus  mengelola masa transisi ini dengan menggunakan sumberdaya yang optimal seperti halnya pada saat mengelola proyek besar yang lain.

 Kesulitan dalam mengelola perubahan tak lepas dari resistensi terhadap perubahan. Pada galibnya ada empat alasan mengapa orang menolak perubahan dalam organisasi. Setiap alasan yang dikemukakan untuk  menolak perubahan ini memerlukan tanggapan yang berbeda pula.

 Alasan pertama mengapa orang menentang perubahan adalah karena mereka tidak memahami mengapa perubahan harus dilakukan. Mereka tidak memahami bagaimana menjalankan perubahan itu. Respon pemimpin untuk menghadapi situasi ini adalah “komunikasi”. Efektivitas komunikasi bukan ditentukan oleh pesan yang disampaikan, tapi diukur dari sejauh mana si penerima memahami pesan yang disampaikan. Lakukan komunikasi secara berulang-ulang. Periksa apakah pemahaman mereka sudah sesuai dengan yang diinginkan.

 Alasan kedua mengapa orang menolak perubahan adalah mereka tidak punya waktu untuk terlibat dalam perubahan. Mereka tidak bisa melaksanakan tanggungjawab rutin, dan pada saat yang sama juga harus menjalankan perubahan. Mereka merasa bahwa memfokuskan energi mereka pada aktivitas menjalankan perubahan dapat melalaikan mereka dari tanggungjawabnya . Pemimpin harus memperhatikan masalah pengelolaan tugas, dengan meringankan beban tugas mereka, agar mereka dapat berpartisipasi dalam perubahan. Atur kembali prioritas kerja mereka sehingga mereka tidak terjebak dalam dilema ini. Jangan mengharap orang memfokuskan energinya pada perubahan, jika mereka merasa ini akan membuat tanggungjawab mereka terabaikan.

 Alasan ketiga mengapa orang menolak perubahan adalah mereka tidak punya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan yang harus mereka lakukan dalam tugas yang baru. Hal pertama yang harus dipikirkan oleh pemimpin adalah bagaimana agar individu yang menolak perubahan mempunyai kemampuan untuk memperoleh kompetensi baru yang diperlukan.

 Alasan terakhir mengapa orang menolak perubahan adalah mereka tidak sepakat dengan perubahan yang terjadi. Artinya mereka berpendapat bahwa ide perubahan itu adalah suatu kesalahan. Hal yang dapat dilakukan adalah mempersuasi mereka. Tapi upaya persuasi tidak boleh berkepanjangan. Harus ditentukan kapan saatnya untuk menetukan sikap.  Energi yang dihabiskan untuk menghadapi perlawanan mereka lebih baik dimanfaatkan untuk mengimplementasikan perubahan.

 Akhirnya yang paling penting bagi seorang pemimpin perubahan harus mempunyai  visi, dan didukung oleh semangat, kepercayaan diri dan keyakinan kepada pihak lain membumikan visi itu menjadi shared vision.  Bukan sekedar  mengumumkan rencana, membentuk satuan tugas, dan kemudian berharap anggota-anggota dibawahnya akan menyelesaikan semuanya sendiri.